Oleh
KH.Muhammad Holid
Awalnya
pesantren Salafiyah dikenal dengan pesantren Nurul Huda. Secara bahasa,
Nurul Huda berarti cahaya petunjuk. Nurul Huda sendiri sudah berdiri
sejak tahun 1960 di bawah asuhan seorang kyai lulusan pesantren Sukorejo
Asembagus Situbondo Jawa Timur. Sarji namanya. Ketika naik haji, sang
kyai mendapat gelar haji Abu Zairi namun orang di desanya lebih mengenal
dengan sebutan Sarji. Nama haji ini diambil dari kebiasaan sang kyai
yang memang suka jalan. Abu Zairi sendiri artinya ayahnya perjalanan.
Memang kebiasaan sang kyai selalu jalan ke berbagai tempat dalam rangka
tirakat untuk mendapatkan petunjuk Allah. Pernah di awal memimpin
pesantren, ketika santri masih sekitar sepuluh orang, kyai tidak pulang
ke rumah selama dua tahun untuk laku tirakat. Ketika pulang, sang kyai
sudah jadab kata orang. Di masyarakat Pakisan, sang kyai dikenal
kalau hari jum’atan sering ada di dua tempat sekaligus. Dengan kata
lain, sang kyai bisa memecah badan. Entah dimana yang asli, orang-orang
tidak mengetahuinya. Pernah kyai Abu Zairi di saat jadab-nya,[1]
sering ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang mempunyai toko. Karena
toko yang dihampiri oleh kyai akan laku keras dan barang dagangannya
akan segera habis. Apalagi sang kyai sampai meludah di toko yang
dihampiri, maka dengan segera toko itu akan dibeli sampai habis barang
dagangannya. Sehingga ada seorang cina waktu itu pernah memberikan dua
putrinya untuk dikawini oleh sang kyai. Namun sang kyai mencerainya ketika sudah kembali seperti sedia kala.
Konon, sang kyai menjadi jadab karena pulang dari laku tirakatnya setelah mendapatkan wejangan dari sang guru. Sang
guru memerintahkan kyai Abu Zairi untuk melaksanakan tirakat di Wali
Sanga dan tidak boleh pulang kalau belum diwejang oleh sang sunan. Tentu
laku tirakat ini membutuhkan waktu dan proses yang lama. Masyarakat
sampai membenci kyai ini karena meninggalkan anak istrinya. Istri pun
meninggal beserta anak yang dikandungnya. Sementara sang kyai belum
pulang ke rumah. Nampaknya sikap kyai yang taat kepada gurunya itu
membuahkan hasil walaupun istri dan anaknya menjadi korban. Dirinya pun
tidak pernah dipikirkan demi melaksanakan perintah sang guru.
Ternyata
perngorbanan sang kyai tidak sia-sia. Ia menjadi orang yang berhasil
dalam laku tirakat sampai menjadi orang yang tidak ingat akan siapapun
kecuali kepada tuhannya. Hasil dari laku tirakatnya berupa kepasrahan
total kepada sang kholik. Apa yang dilakukan menjadi perbuatan sang
kholik. Orang menyebutnya dengan zindik. Sebagian lagi menyebutnya
sebagai hamba yang sudah manunggaling kawula gusti.[2] Yakni orang yang sudah menyatu dengan tuhannya.
Penyatuan
ini membawa berkah. Semakin hari semakin banyak orang yang meminta
pertolongan sang kyai baik orang-orang yang membutuhkan pengobatan
maupun orang-orang yang membutuhkan syarat agar dimudahkan dalam urusan
ekonomi. Orang yang lumpuh begitu datang kepada kyai langsung sembuh
hanya dengan sentuhan tangan sang kyai. Orang yang mempunyai kesulitan
ekonomi bisa keluar dari kebuntuan ekonominya dengan mendatangi dan
ngalap berkah sang kyai. Namun itu semua bukan harapan dari kyai.
Harapan kyai lebih besar dari itu semua. Kyai berharap bagaimana agar
dirinya tidak hanya menyelamatkan manusia di kehidupan dunia, melainkan
juga menyelamatkan manusia di akhirat nanti. Dan
menolong orang dari kehidupan dunia dan akhirat bisa dilakukan apabila
seseorang telah mencapai tingkatan mursid. Dengan ketekunan luar biasa
dalam menjalani laku tirakat, kyai Abu Zairi mencapai tingkatan itu.
Banyak
orang berdatangan kepada kyai untuk berguru mursyid. Kyai pun membikin
pengajian jum’at manisan untuk menampung santri-santri yang ingin
berguru mursid ini. Banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru
negeri untuk berguru kepada sang kyai. Namun perguruan yang diasuh oleh
sang kyai seringkali mendapatkan ujian yang berat. Berbagai macam fitnah
muncul dari masyarakat sekitar. Kyai dituduh sebagai orang yang membawa
aliran sesat. Saudara-saudara dan tetangga sekitar juga tidak suka
dengan keberadaan perguruan itu. Mereka semua menganggap aliran yang
dibawa kyai sebagai aliran baru dalam agama. Ada pula ketidaksetujuan
mereka karena iri dan dengki. Kyai seringkali disepelekan oleh orang
sekitar dan dicaci sebagai kyai tidak benar. Karena kyai tidak pernah
sholat jum’at di masjid dan sebagainya.
Kebencian
masyarakat sekitar tidak berhenti di situ. Mereka pernah membakar
pesantren kyai. Rumah sang kyai juga dibakar. Anehnya, lagi-lagi allah
menampakkan kekuasaannya, ada sorban kyai yang tidak terbakar api dan
kain yang dibalut oleh surban itu juga tidak terbakar. Sorban itu
kemudian hari dinamai salimi yang dianggap keramat oleh pengikutnya.
Orang-orang percaya bahwa salimi itu dapat membawa keselamatan.
Menurut
pengakuan sang kyai sendiri kepada penulis, kebencian masyarakat
sekitar kepada beliau akibat persoalan politik. Waktu itu sekitar tahun
1970. Kyai ikut partai P3 karena diperintah oleh sang guru yakni kyai
As’ad Samsul Arifin Sukorejo. Beliau
membela partai ini karena semata-mata perintah sang guru. Sedangkan
masyarakat sekitar berbeda pandangan dengan sang kyai. Mereka masuk
partai bukan karena perintah sang guru tapi demi uang. Kemudian ada
insiden kecil yang menyebabkan sang kyai dipenjara. Di dalam penjara,
tak satupun orang partai mengunjunginya. Peristiwa ini membuat beliau
kecewa dan membuat kyai tidak mau berkecimpung lagi dalam politik hingga
akhir hayatnya.
Semenjak
pembakaran pondok oleh masyarakat itu, kyai berniat tidak mau membuka
pondok lagi. Kyai kemudian membeli angkot dan menjadi supir angkot
jurusan Pakisan-Bondowoso. Namun kyai sendiri rupanya tidak bisa menolak
takdir. Tak lama kemudian ada tiga orang santri datang ingin nyantri
kepada kyai. Dengan kedatangan tiga santri ini, kyai membuka kembali pondok pesantren yang kemudian diberi nama pesantren Islam salafiyah.
Secara bahasa, salafiyah berarti orang yang mendahului kita.[3]
Dengan pengertian semacam ini, ulama-ulama atau orang tua kita yang
telah meninggal terlebih dahulu adalah salaf. Namun arti salaf yang
dimaksudkan dalam penamaan pesantren ini mengacu kepada ulama salaf.
Ulama yang disebut sebagai ulama salaf adalah ulama yang mengikuti
prilaku nabi dan para sahabatnya. Keikutan ulama-ulama terhadap para
sahabat itu menyangkut beberapa hal, diantaranya kesungguhannya dalam
menuntut ilmu, kezuhudannya terhadap dunia dan perjuangannya di dalam
menegakkan kebenaran dan agama Allah. Dengan demikian, penamaan itu
terkait dengan cita-cita sang kyai yang Sangat tinggi untuk mencetak
santri menjadi orang kuat dalam menuntut ilmu, zuhud terhadap dunia dan
gigih dalam berjuang di jalan Allah.
Seringkali
orang salah mengartikan zuhud. Banyak orang beranggapan bahwa zuhud
merupakan penghindaran diri secara total terhadap dunia. Padahal zuhud
itu sendiri tidak identik dengan tidak punya dunia (uang).[4]
Menurut K. Afif, zuhud adalah tidak suka dan tidak cinta dengan dunia.
Walaupun dunia banyak mengalir di tangannya, ketika ada orang yang
membutuhkan, maka dunia itu akan diberikan kepada orang yang membutuhkan
itu. Karena dirinya tidak cinta dengan dunia. Dengan demikian, belum
tentu orang tidak punya harta (miskin) itu zuhud dan belum tentu pula
orang yang kaya itu tidak zuhud. Selama dunia atau harta tidak melekat
di hatinya, maka orang itu bisa disebut sebagai orang zuhud.
Pesantren
Salafiyah Pakisan bercita-cita santrinya menjadi orang-orang yang
berjiwa salaf itu. Apalagi di depan nama salafiyah itu ditambahkan
dengan label Islam, maka lengkap sudah cita-cita kyai Abu Zairi untuk
menciptakan generasi yang punya kepasrahan total dan keyakinan yang kuat
kepada Allah serta jiwa perjuangan untuk selalu membela kaum lemah. Cita-cita semacam ini menjadi cita-cita yang sekali dayung dua tiga pula terlampui. Kepasrahan
total kepada Allah mencerminkan kesalehan ritual. Sedangkan perjuangan
membela kaum lemah mencerminkan kesalehan sosial.[5]
Dengan
cita-cita salaf itu, kyai Abu Zairi terus membina dan menapak sedikit
demi sedikit pesantren Islam Salafiyah ini. Untuk menguatkan posisi
pesantren, pesantren diaktenotariskan dengan nama yayasan pondok
pesantren islam ”salafiyah”. Pembuatan akte notaris tercatat tanggal 28
maret 1985 dengan nomor 16. Yayasan mempunyai keanggotaan yang terdiri
dari jemaah Ikhwan yang berguru mursyid kepada kyai. Mereka berasal dari
berbagai daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali dan Lombok. Bahkan ada
pula jemaah berasal dari negeri jiran, Malaysia. Ketuanya adalah H. Nur
Rais dari Situbondo. Wakil yayasan adalah H. Abd. Rasyid dari
Situbondo. Pengasuhnya adalah KH. Abu Zairi sendiri. Wakil pengasuh juga
diserahkan kepada H. Abd Rasyid.
Pada
tanggal 30 Agustus 2006, kyai Abu Zairi meninggal dunia. Beliau
meninggalkan dua istri, dua putra dan dua putri, serta satu putri angkat
dari istri yang terakhir. Beliau
meninggal karena serangan jantung. Di samping itu, penyakit kencing
manis dan darah tinggi juga mengjangkiti beliau. Beliau meninggal di
rumah sakit Patrang (Dr. Soebandi) Jember. Sepeninggal beliau, pesantren
diserahkan kepada putrinya Nyi Bahdatul Nur Laili, Spdi dan suaminya,
Lora Muhammad Holid, M.Hum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar