Selasa, 24 Januari 2012

SEJARAH PENDIRIAN YPPIS


Oleh
KH.Muhammad Holid
Awalnya pesantren Salafiyah dikenal dengan pesantren Nurul Huda. Secara bahasa, Nurul Huda berarti cahaya petunjuk. Nurul Huda sendiri sudah berdiri sejak tahun 1960 di bawah asuhan seorang kyai lulusan pesantren Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur. Sarji namanya. Ketika naik haji, sang kyai mendapat gelar haji Abu Zairi namun orang di desanya lebih mengenal dengan sebutan Sarji. Nama haji ini diambil dari kebiasaan sang kyai yang memang suka jalan. Abu Zairi sendiri artinya ayahnya perjalanan. Memang kebiasaan sang kyai selalu jalan ke berbagai tempat dalam rangka tirakat untuk mendapatkan petunjuk Allah. Pernah di awal memimpin pesantren, ketika santri masih sekitar sepuluh orang, kyai tidak pulang ke rumah selama dua tahun untuk laku tirakat. Ketika pulang, sang kyai sudah jadab kata orang. Di masyarakat Pakisan, sang kyai dikenal kalau hari jum’atan sering ada di dua tempat sekaligus. Dengan kata lain, sang kyai bisa memecah badan. Entah dimana yang asli, orang-orang tidak mengetahuinya. Pernah kyai Abu Zairi di saat jadab-nya,[1] sering ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang mempunyai toko. Karena toko yang dihampiri oleh kyai akan laku keras dan barang dagangannya akan segera habis. Apalagi sang kyai sampai meludah di toko yang dihampiri, maka dengan segera toko itu akan dibeli sampai habis barang dagangannya. Sehingga ada seorang cina waktu itu pernah memberikan dua putrinya untuk dikawini oleh sang kyai. Namun sang kyai mencerainya ketika sudah kembali seperti sedia kala.
Konon, sang kyai menjadi jadab karena pulang dari laku tirakatnya setelah mendapatkan wejangan dari sang guru. Sang guru memerintahkan kyai Abu Zairi untuk melaksanakan tirakat di Wali Sanga dan tidak boleh pulang kalau belum diwejang oleh sang sunan. Tentu laku tirakat ini membutuhkan waktu dan proses yang lama. Masyarakat sampai membenci kyai ini karena meninggalkan anak istrinya. Istri pun meninggal beserta anak yang dikandungnya. Sementara sang kyai belum pulang ke rumah. Nampaknya sikap kyai yang taat kepada gurunya itu membuahkan hasil walaupun istri dan anaknya menjadi korban. Dirinya pun tidak pernah dipikirkan demi melaksanakan perintah sang guru.
Ternyata perngorbanan sang kyai tidak sia-sia. Ia menjadi orang yang berhasil dalam laku tirakat sampai menjadi orang yang tidak ingat akan siapapun kecuali kepada tuhannya. Hasil dari laku tirakatnya berupa kepasrahan total kepada sang kholik. Apa yang dilakukan menjadi perbuatan sang kholik. Orang menyebutnya dengan zindik. Sebagian lagi menyebutnya sebagai hamba yang sudah manunggaling kawula gusti.[2] Yakni orang yang sudah menyatu dengan tuhannya.
Penyatuan ini membawa berkah. Semakin hari semakin banyak orang yang meminta pertolongan sang kyai baik orang-orang yang membutuhkan pengobatan maupun orang-orang yang membutuhkan syarat agar dimudahkan dalam urusan ekonomi. Orang yang lumpuh begitu datang kepada kyai langsung sembuh hanya dengan sentuhan tangan sang kyai. Orang yang mempunyai kesulitan ekonomi bisa keluar dari kebuntuan ekonominya dengan mendatangi dan ngalap berkah sang kyai. Namun itu semua bukan harapan dari kyai. Harapan kyai lebih besar dari itu semua. Kyai berharap bagaimana agar dirinya tidak hanya menyelamatkan manusia di kehidupan dunia, melainkan juga menyelamatkan manusia di akhirat nanti. Dan menolong orang dari kehidupan dunia dan akhirat bisa dilakukan apabila seseorang telah mencapai tingkatan mursid. Dengan ketekunan luar biasa dalam menjalani laku tirakat, kyai Abu Zairi mencapai tingkatan itu.
Banyak orang berdatangan kepada kyai untuk berguru mursyid. Kyai pun membikin pengajian jum’at manisan untuk menampung santri-santri yang ingin berguru mursid ini. Banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru negeri untuk berguru kepada sang kyai. Namun perguruan yang diasuh oleh sang kyai seringkali mendapatkan ujian yang berat. Berbagai macam fitnah muncul dari masyarakat sekitar. Kyai dituduh sebagai orang yang membawa aliran sesat. Saudara-saudara dan tetangga sekitar juga tidak suka dengan keberadaan perguruan itu. Mereka semua menganggap aliran yang dibawa kyai sebagai aliran baru dalam agama. Ada pula ketidaksetujuan mereka karena iri dan dengki. Kyai seringkali disepelekan oleh orang sekitar dan dicaci sebagai kyai tidak benar. Karena kyai tidak pernah sholat jum’at di masjid dan sebagainya.
Kebencian masyarakat sekitar tidak berhenti di situ. Mereka pernah membakar pesantren kyai. Rumah sang kyai juga dibakar. Anehnya, lagi-lagi allah menampakkan kekuasaannya, ada sorban kyai yang tidak terbakar api dan kain yang dibalut oleh surban itu juga tidak terbakar. Sorban itu kemudian hari dinamai salimi yang dianggap keramat oleh pengikutnya. Orang-orang percaya bahwa salimi itu dapat membawa keselamatan.
Menurut pengakuan sang kyai sendiri kepada penulis, kebencian masyarakat sekitar kepada beliau akibat persoalan politik. Waktu itu sekitar tahun 1970. Kyai ikut partai P3 karena diperintah oleh sang guru yakni kyai As’ad Samsul Arifin Sukorejo. Beliau membela partai ini karena semata-mata perintah sang guru. Sedangkan masyarakat sekitar berbeda pandangan dengan sang kyai. Mereka masuk partai bukan karena perintah sang guru tapi demi uang. Kemudian ada insiden kecil yang menyebabkan sang kyai dipenjara. Di dalam penjara, tak satupun orang partai mengunjunginya. Peristiwa ini membuat beliau kecewa dan membuat kyai tidak mau berkecimpung lagi dalam politik hingga akhir hayatnya.
Semenjak pembakaran pondok oleh masyarakat itu, kyai berniat tidak mau membuka pondok lagi. Kyai kemudian membeli angkot dan menjadi supir angkot jurusan Pakisan-Bondowoso. Namun kyai sendiri rupanya tidak bisa menolak takdir. Tak lama kemudian ada tiga orang santri datang ingin nyantri kepada kyai. Dengan kedatangan tiga santri ini, kyai membuka kembali pondok pesantren yang kemudian diberi nama pesantren Islam salafiyah.
Secara bahasa, salafiyah berarti orang yang mendahului kita.[3] Dengan pengertian semacam ini, ulama-ulama atau orang tua kita yang telah meninggal terlebih dahulu adalah salaf. Namun arti salaf yang dimaksudkan dalam penamaan pesantren ini mengacu kepada ulama salaf. Ulama yang disebut sebagai ulama salaf adalah ulama yang mengikuti prilaku nabi dan para sahabatnya. Keikutan ulama-ulama terhadap para sahabat itu menyangkut beberapa hal, diantaranya kesungguhannya dalam menuntut ilmu, kezuhudannya terhadap dunia dan perjuangannya di dalam menegakkan kebenaran dan agama Allah. Dengan demikian, penamaan itu terkait dengan cita-cita sang kyai yang Sangat tinggi untuk mencetak santri menjadi orang kuat dalam menuntut ilmu, zuhud terhadap dunia dan gigih dalam berjuang di jalan Allah.
Seringkali orang salah mengartikan zuhud. Banyak orang beranggapan bahwa zuhud merupakan penghindaran diri secara total terhadap dunia. Padahal zuhud itu sendiri tidak identik dengan tidak punya dunia (uang).[4] Menurut K. Afif, zuhud adalah tidak suka dan tidak cinta dengan dunia. Walaupun dunia banyak mengalir di tangannya, ketika ada orang yang membutuhkan, maka dunia itu akan diberikan kepada orang yang membutuhkan itu. Karena dirinya tidak cinta dengan dunia. Dengan demikian, belum tentu orang tidak punya harta (miskin) itu zuhud dan belum tentu pula orang yang kaya itu tidak zuhud. Selama dunia atau harta tidak melekat di hatinya, maka orang itu bisa disebut sebagai orang zuhud.
Pesantren Salafiyah Pakisan bercita-cita santrinya menjadi orang-orang yang berjiwa salaf itu. Apalagi di depan nama salafiyah itu ditambahkan dengan label Islam, maka lengkap sudah cita-cita kyai Abu Zairi untuk menciptakan generasi yang punya kepasrahan total dan keyakinan yang kuat kepada Allah serta jiwa perjuangan untuk selalu membela kaum lemah. Cita-cita semacam ini menjadi cita-cita yang sekali dayung dua tiga pula terlampui. Kepasrahan total kepada Allah mencerminkan kesalehan ritual. Sedangkan perjuangan membela kaum lemah mencerminkan kesalehan sosial.[5]
Dengan cita-cita salaf itu, kyai Abu Zairi terus membina dan menapak sedikit demi sedikit pesantren Islam Salafiyah ini. Untuk menguatkan posisi pesantren, pesantren diaktenotariskan dengan nama yayasan pondok pesantren islam ”salafiyah”. Pembuatan akte notaris tercatat tanggal 28 maret 1985 dengan nomor 16. Yayasan mempunyai keanggotaan yang terdiri dari jemaah Ikhwan yang berguru mursyid kepada kyai. Mereka berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali dan Lombok. Bahkan ada pula jemaah berasal dari negeri jiran, Malaysia. Ketuanya adalah H. Nur Rais dari Situbondo. Wakil yayasan adalah H. Abd. Rasyid dari Situbondo. Pengasuhnya adalah KH. Abu Zairi sendiri. Wakil pengasuh juga diserahkan kepada H. Abd Rasyid.
Pada tanggal 30 Agustus 2006, kyai Abu Zairi meninggal dunia. Beliau meninggalkan dua istri, dua putra dan dua putri, serta satu putri angkat dari istri yang terakhir. Beliau meninggal karena serangan jantung. Di samping itu, penyakit kencing manis dan darah tinggi juga mengjangkiti beliau. Beliau meninggal di rumah sakit Patrang (Dr. Soebandi) Jember. Sepeninggal beliau, pesantren diserahkan kepada putrinya Nyi Bahdatul Nur Laili, Spdi dan suaminya, Lora Muhammad Holid, M.Hum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar